Catatan Budayawan Mandailing Atas Penayangan Film “Pangarasa”
Baswara Times, Panyabungan – Budayawan Mandailing Askolani Nasution memberikan sejumlah catatan penting atas film Pangarasa yang tayang pada Minggu, 31 Agustus 2025, di Ballroom Ladangsari, Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Karya sinema ini sebelumnya memantik pro dan kontra.
Askolani menjelaskan, film tersebut merupakan fiksi dan bukan dokumenter yang sifatnya faktual. Maka dari itu, dia meminta penonton untuk tidak mencari fakta di dalamnya. “Jadi, jangan mencari fakta di dalamnya. Film seperti ini tetap karya kreatif. Murni produk sastra dalam bentuk sinematik,” kata pria yang telah menulis puluhan buku ini.
Lulusan IKIP Padang, sekarang Universitas Negeri Padang (UNP), menambahkan untuk kelas lokal, sinematografi fil Pangarasa sudah di atas rata-rata. “Mulai dari naskah, bahasa gambar, efek visual, audio, penyutradaraan, dlsb. Meskipun ada beberapa catatan khusus, tetapi secara umum layak menjadi tontonan yang menghibur dan berkualitas,” jelas sutradara film Biola Namabugang ini.
Askolani menegaskan semua film memiliki nilai budaya. Sebab, semua yang mencatat perilaku manusia dalam satu fase sejarah, tetap bagian budaya. Bedanya, ada budaya yang dirumuskan, ada yang tidak. Dia melanjutkan, budaya bukan hanya sebatas yang terlihat, termasuk juga yang tidak terlihat, sepanjang tetap memengaruhi pola perilaku manusia. “Setidaknya, dengan film ini kita mencatat bahwa di suatu zaman, ada hal-hal yang hidup di suatu lingkungan sosial dan dipercaya adanya,” ungkap dia.
Pria yang telah menerima beragam penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini menilai pemilihan judul “Pangarasa” hanya setting sosial tahun 1998 di sebuah desa bernama Ngolu. “Setting tempat itu juga bersifat fiktif. Setiap film memang harus berangkat dari satu setting waktu tertentu,” jelas pensiunan PNS ini.
Askolani mengungkapkan secara linguistik, dalam tata bahasa Mandailing, kata “pangarasa” bermakna peyorasi. Artinya, makin lama makin jelek konotasinya. Padahal, kata dia, pada awalnya kata tersebut tidak berkonotasi negatif. Sebab, ada juga ‘rasa’ yang digunakan untuk hal-hal positif. “Misalnya, ramuan untuk penambah wibawa pemimpin. Soal itu hanya bisa saya jelaskan dalam paparan khusus,” lanjut dia.
Sebagai seorang sineas, dia mengaku memahami bahwa pemilihan judul film ini untuk daya tarik. “Dalam sebuah produk hal seperti itu sudah semestinya. Semua pekerja kreatif dan entertainmen memahami pentingnya sebuah judul yang menarik,” sebut Askolani.
Pada akhirnya, Askolani menyambut kehadiran film Pangarasa sebagai bagian dari upaya kreatif anak muda untuk berani memajukan sinema daerah. “Karya sinema tetap bagian dari produk budaya, meskipun bukan bagian dari Pokok-pokok Kebudayaan Daerah yang ditetapkan tahun 2018,” pungkas dia. (Roy Dz)


