Madina

Penyebab Warga Desa Panjaringan Kebanyakan Hanya Lulus SD

Baswara Times, Tambangan – Memasuki 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia dan 26 tahun sejak Kabupaten Mandailing Natal (Madina) berpisah dari Tapanuli Selatan masih ada masyarakat, yang notabene dekat dengan jalan nasional, tak bisa mengakses pendidikan setingkat SMP dengan mudah. Itu terjadi di Desa Panjaringan, Kecamatan Tambangan.

Desa ini hanya berjarak sekitar 11 kilometer dari jalan Medan-Padang dan tiga kilometer dari Desa Rao-rao Dolok, desa terakhir dengan jalan aspal yang bagus. Kondisi ini terungkap saat wartawan media ini berkunjung ke Desa Tersebut terkait pembangunan jalan sepanjang 707 meter yang baru rampung pada Selasa, 19 Agustus 2025. Ini merupakan pembangunan pertama dalam 23 tahun terakhir.

Meskipun belum sampai ke Desa Panjaringan, pembangunan itu tetap disyukuri dan disambut positif masyarakat setempat. Mereka menilai ini adalah awal dari harapan mereka selama puluhan tahun ini. “Jalan antara Desa Rao-Rao Dolok ke Panjaringan yang telah dibangun pemerintah setelah adanya bapak bupati yang baru, kami sangat berterima kasih,” kata Ahmad Nasution, tokoh masyarakat setempat, didampingi Kepala Desa Hamdan.

Ahmad mengungkapkan, sulitnya akses jalan ke Desa Panjaringan membuat anak-anak enggan melanjutkan pendidikan sehingga banyak yang putus sekolah. Akibatnya, sebagian besar dari mereka terpapar narkotika, utamanya ganja. “Apalagi hubungan antara Desa Panjaringan ke Laru sampai ke pendidikan selalu jalan kaki, selalu naik kereta, bahkan kalau motor (mobil) jarang-jarang sekali yang ada,” lanjut dia.

Untuk itu, tambah Ahmad, masyarakat meminta dan berharap kepada Bupati Madina H. Saipullah Nasution agar meneruskan pembangunan jalan ini. “Kami mengharapkan kepada bapak bupati lanjutan jalan yang telah dibangun mudah-mudahan dapat diteruskan, mudah-mudahan secepatnya,” harap dia.

Asro, warga Desa Panjaringan, menjelaskan, kondisi jalan yang rusak berat itu sudah berlangsung puluhan tahun. Sebelum ada pembangunan jalan sepanjang 707 meter tahun ini, dia bahkan sudah pesimistis tidak akan ikut menikmati jalan yang bagus di sisa hidupnya. “Mungkin saya tidak akan ikut menikmati jalan yang bagus lagi,” kata perempuan yang membuka warung kopi di depan rumahnya ini.

Dia menceritakan, kondisi jalan yang rusak parah membuat biaya membengkak sehingga anak-anak banyak yang tak sekolah. Tak jarang, mereka yang memilih jalan kaki ketika berangkat dan pulang sekolah mendapat ejekan dari anak-anak desa lain. “Anak saya sampai berhenti sekolah karena tak tahan,” ungkap Asro.

Sebagian besar masyarakat di desa ini hanya lulusan SD. Hanya sedikit yang melanjutkan pendidikan ke SMP, apalagi SMA maupun ke bangku kuliah. Mereka yang melanjutkan pendidikan umumnya memilih pesantren karena ada asrama dan biaya relatif lebih murah.

Belum lama ini, bahkan ada perempuan yang melahirkan di mobil sebelum sampai ke Puskesmas yang jaraknya hanya sekitar tiga kilometer dari Desa Panjaringan. “Belum sampai di jalan aspal yang di Desa Rao-rao Dolok, dia sudah melahirkan,” sebut Asro.

Tak hanya itu, ongkos angkutan ke pasar kecamatan pun cukup mahal. Setidaknya harus mengeluarkan Rp30 ribu untuk pulang-pergi naik angkot. “Kadang saya miris, kalau anak merengek mau lihat pasar. Mau dibawa, ongkosnya sudah cukup untuk beli lauk serumah,” tutur Asro.

Masyarakat di desa ini umumnya bertani dan berkebun karet. Namun, ada beberapa di antaranya yang berkebun tembakau dan nilam. Potensi ini pun tak termaksimalkan karena kondisi jalan yang rusak.

Kepala Desa Hamdan mengamini kondisi dan permintaan masyarakat itu. “Kami tertinggal karena jalan yang hanya sekitar dua kilometer ini tidak dibangun berpuluh tahun. Mudah-mudahan, pembangunan jalan ini terus berlanjut. Tidak apa-apa bertahap, selama ujungnya sampai ke desa kami inu,” kata dia. (Roy Dz)