Satu Keluarga Aniaya Anak di Bawah Umur, Polisi Tak Bertindak
Baswara Times, Padanglawas – Satu Keluarga di Kecamatan Barumun, Kabupaten Padanglawas, terdiri dari ayah dan dua anak yang sudah dewasa diduga menganiaya anak di bawah umur setelah menuduh korban mencuri jajanan dan uang pada 26 Juni 2025 lalu.
Ketiganya melakukan penganiayaan mulai dari menendang, memukul, dan menyundut rokok yang menyala kepada korban yang diikat. Tindakan itu mereka lakukan di hadapan warga sekitar. Para terduga pelaku adalah Sulaiman Nasution alias Leman, Diris, dan Masitoh.
DH, ayah korban, telah melaporkan ini ke Polres Padanglawas satu hari setelah kejadian atau 27 Juni 2025. Laporan itu tertuang dalam Surat Tanda Terima Laporan Polisi (STTLP) Nomor B/193/VI/2025 dengan Leman menjadi terlapor. Namun, hingga kini tidak ada tindakan berarti dari kepolisian.
Lambannya pergerakan polisi membuat sejumlah pihak geram. Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Padang Lawas Raya Martua Gading Daulay, SH, MH, menyesalkan Polres Padang Lawas yang dinilai tak melakukan apa-apa terkait kasus ini. Padahal, bukti rekaman CCTV, visum, dan kesaksian warga kabarnya sudah di tangan aparat penegak hukum (APH).
“Laporan sudah sebulan lebih, bukti awal cukup, tapi belum ada tersangka. Ini pesan buruk bahwa kekerasan terhadap anak bisa diabaikan. Polisi harus bergerak cepat demi kepastian hukum dan perlindungan korban,” kata dia pada Sabtu, 9 Agustus 2025.
Martua juga menyoroti tidak adanya respons dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang berada di bawah naungan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) setempat.
“Ini adalah kasus kekerasan terhadap anak yang seharusnya langsung ditangani dengan cepat dan menyeluruh oleh P2TP2A. Ada mandat hukum yang jelas, tapi faktanya mereka seperti tutup mata,” sebut dia mengutip Warta Mandailing pada Minggu, 10 Agustus 2025.
Martua menerangkan dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak yang menjadi korban tindak kekerasan.
Dia pun menegaskan lembaga yang dipimpinnya siap memberikan bantuan hukum jika dibutuhkan keluarga korban. Di sisi lain, Martua mengingatkan lambannya tindakan APH bisa dikategorikan sebagai bentuk pengabaian terhadap hak konstitusional anak yang dijamin undang-undang.
Praktisi hukum lainnya Donna Siregar, SH, menilai lambannya penanganan kasus ini membuktikan lemahnya komitmen perlindungan anak di tingkat daerah.
Terhadap polisi, Donna mengatakan belum adanya penetapan tersangka akan memperpanjang penderitaan korban. “Bukti sudah ada, pelaku sudah diketahui, tapi proses hukum seperti jalan di tempat. Kepolisian seharusnya menerapkan prinsip child protection first, bukan membiarkan kasus berlarut-larut. Setiap hari yang terlewati tanpa penindakan adalah bentuk pengabaian terhadap korban,” ujarnya.
Donna menjelaskan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, kekerasan terhadap anak merupakan kasus yang penanganannya prioritas. Maka dari itu, semua pihak terkait, baik pemerintah daerah maupun aparat penegak hukum, wajib mengambil tindakan cepat, tepat, dan berpihak pada korban.
“Kalau aparat dan lembaga perlindungan anak bekerja setengah hati, pesan yang sampai ke masyarakat adalah kekerasan terhadap anak bisa dinegosiasi. Itu berbahaya. Harus ada tindakan hukum tegas tanpa kompromi,” pungkas dia. (Roy Dz)